Enerpulse, sebuah perusahaan yang berpusat di Albuquerque, New Mexico telah mengembangkan sebuah busi dengan teknologi yang berbeda dari teknologi busi saat ini.
Meskipun mempunyai bentuk dan dimensi yang sama (bentuk dan dimensi tersebut disesuaikan dengan sistem pengapian dan mesin yang ada) dengan busi yang sekarang digunakan, namun teknologi yang digunakannya mampu menambah torsi menjadi 12% dan 20% lebih ekonomis.
Enerpulse dengan didampingi Sandia National Laboratories, Pulstar pulse plugs, demikian produk tersebut dinamakan, menghasilkan daya 20.000 kali lebih besar dari busi yang sekarang ini banyak digunakan. Teknologi busi yang ada sekarang hanya menghasilkan 50 watt, sementara Pulstar menghasilkan 1 juta watt. Jumlah yang lebih dari cukup untuk membakar secara sempurna seluruh bahan bakar di ruang pembakaran mesin.
Menurut Enerpulse, daya sebesar itu tidak akan merusak mesin. Pulstar hanya menghasilkan 1 juta watt selama 2 nanodetik. Waktu yang sangat singkat tersebut cukup untuk membakar bahan bakar di dalam ruang pembakaran mesin dan terlalu singkat untuk menjadikan blok mesin ataupun komponen mesin lainnya menanggung panas yang berlebihan.
Pulstar mempunyai prinsip kerja yang berbeda jika dibandingkan dengan busi biasa. Pada busi biasa, banyak energi yang terbuang menjadi panas selama proses ionisasi elektrodenya. Hal tersebut berarti bahwa loncatan bunga api tidak akan terbentuk selama tegangan di antara ujung elektrodenya tidak mencukupi untuk membuat sebuah percikan dan akibatnya banyak energi yang terbuang.
Sementara Pulstar bekerja dengan mengumpulkan energinya di dalam sebuah resistor. Jika tegangan yang akan digunakan untuk membuat bunga api mencukupi, maka energi tersebut akan melewati resistor dan seketika muncul mejadi percikan api di antara ujung elektrodenya.
Teknologi tak bisa lepas dari kehidupan manusia modern saat ini. Mau masayarakat kalangan bawah atas sama saja. Mereka selalu menunggu teknologi terbaru sesuai keinginan mereka. Apa yang mereka tunggu tentu saja teknologi yang di berikan produsen, yang bisa membantu pekerjaan atau sekedar kesenangan semata.Teknolgi terbaru untuk bisa masuk ke pasar selain fungsinya harus mengedepankan nilai unik dan beda dari yang lain. Maka tentu akan cepat di lirik oleh konsumen. Seperti Sony yang baru saja mengeluarkan sebuah mp3 berbentuk lipstik, yang di khususkan untuk wanita.
TerraSarX, teknologi terbaru untuk pemetaan dengan radar asal Jerman, yang dinyatakan mampu mengatasi awan, ditawarkan untuk diujicoba di atas udara Indonesia.
“Sebagai imbalan, mereka menawarkan penyediaan data spasial yang dibutuhkan berbagai lembaga di Indonesia dengan sistem itu,” kata Peneliti Geomatika Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Dr Ade Komara Mulyana di sela Seminar Teknologi Radar Antariksa di Jakarta, Rabu.
Misalnya permintaan data spasial semburan lumpur Sidoarjo, data spasial kondisi terbaru Merapi, hingga data spasial banjir Jakarta awal Februari lalu, atau permintaan data spasial dari IPB dan institusi penelitian lain yang akan diberikan secara gratis, ujarnya.
Indonesia sudah lama menjadi tempat uji terlengkap berbagai sistem pemetaan radar yang pernah dikembangkan di dunia karena lokasinya di khatulistiwa serta ketertutupan awannya yang tinggi sehingga sesuai untuk uji radar yang ditargetkan dapat mengatasi awan.
Karena itu sudah saatnya pelaku pemetaan di Indonesia tak sekedar menjadi objek, tetapi juga sebagai subjek pemetaan dengan radar dan menyambut ujicoba yang ada sebagai peluang untuk membantu Indonesia dalam menyediakan data spasial, ujarnya.
Sebelumnya pernah dicoba sistem satelit Radarsat, ERS, JERS, Envisat, SRTM maupun sistem Airborne-Ifsar.
Sementara itu, Chief Operating Infoterra Nikolaus Faller mengatakan, sistem terbaru pemetaan bumi dengan radar dari TerraSarX bisa menjadi pilihan dalam pemetaan geospasial pada masa datang karena selain mampu mengatasi masalah ketertutupan awan juga berbiaya rendah.
“TerraSarX mampu melakukan pemetaan bumi tanpa terganggu awan dengan biaya hanya 5 dolar per Km2,” katanya.
Diakui Ade, biaya pemotretan udara dengan airborne, teknologi pemetaan yang mampu mengatasi awan, mencapai 40-50 dolar per Km2, sedangkan teknologi satelit Ikonos yang masih bermasalah dengan awan berbiaya 37 dolar AS per Km2.
Ade mengatakan, Indonesia lebih memilih bekerjasama atau menyewa radar, ketimbang memilikinya untuk pemetaan, karena biaya investasi dalam teknologi radar pemetaan serta biaya operasional radar sangat besar dan tidak seimbang dengan hasil yang didapat.
“Tubsat (satelit mikro milik LAPAN yang baru diluncurkan setahun lalu – red) sebenarnya sudah menghasilkan foto video `live` wilayah nusantara, namun belum diterjemahkan menjadi hasil pemetaan,” katanya. (*)